Daftar Artikel

Sumba – Latar Belakang Sejarah

Bagian utara dan timur dari pulau ini cenderung kering, semen tara bagian selatan dan barat curah hujan lebih banyak dan tanahnya lebih subur. Suhu pada siang hari pada umumnya 30-an ć namun di beberapa tempat pada bagian yang lebih tinggi se perti bagian tengah pulau ini, iklimnya lebih sejuk. Musim penghujan mulai dari bulan Desember sampai bulan Maret, dan selama 8 bulan musim kering (tak ada hujan). Sumba secara mengagumkan amat kaya dengan nilai budaya, khususnya aliran kepercayaan Marapu yang unik. Kepercayaan animis ini mempengaruhi bentuk dan model rumah adat, batu-batu kubur megalitik, pemaka man dan upacara pasola yang terkenal itu. Berhubungan dengan torisme atau pariwisata, Sumba ibarat sebuah mutiara yang belum ditemukan. Saat kini telah banyak hotel dan resort yang tersebar di beberapa pesisir Pantai. Sumba juga memiliki Pantai-pantai yang sangat indah untuk berselancar. Sumba dapat dicapai melalui udara; ada dua lapangan terbang yakni Lede Kalumbang - Tambolaka di Sumba Barat Daya dan Ir. Mehang Kunda di Sumba Timur. juga bisa dicapai lewat laut melalui dua pelabuhan di Waikelo, Sumba Barat Daya dan di Waingapu, Sumba Timur.

Agama

Lebih dari 60 % penduduk Sumba beraliran kepercayaan Marapu. Aliran kepercayaan ini cukup unik karena sa ngat mempengaruhi penduduknya dalam cara berpikir dan bertindak. 40 % lainnya beragama Protestan, Kato lik dan sedikit persentasi penganut agama Islam, Hindu dan Budha. Marapu terbentuk dari 2 kata ‘Mar’ dan ‘Apu’. Mar berarti pencipta semesta dan sumber kehidu pan; Apu berarti kakek. Marapu bersifat animistis, roh dan berupa unsur dina mis. Marapu mengajarkan keseimbangan hidup alam semesta yang di dalamnya manusia dapat mencapai kebahagiaan yang dirindukan. Keseimbangan ini dilam bangkan oleh ‘Ina Mawolo’ (ibu yang menenun) dan ‘Ama Marawi’ (ayah yang memintal). Ina Mawolo dan Ama Marawi hadir di alam semesta dan mengambil bentuk berupa Bulan atau Matahari. Ama Mawolo dan Ina Marawi adalah pasangan suami-isteri yang melahir kan leluhur orang Sumba. Aliran kepercayaan ini yakin bahwa hidup di dunia ini sifatnya sementara belaka atau dengan kata lain setelah hidup ini (dunia) akan datang hidup kekal. Melalui ke matian, seseorang masuk dalam dunia roh; ‘Praing Marapu’ (Nirwana). Keperca-yaan Marapu yakin bahwa semua roh terdiri atas dua unsur yakni ‘Ndewa’ (roh spirit) dan ‘Hamaghu’ (anima-jiwa). Di dalam Surga kekal, roh menjelma dalam hidup manusia di dunia. Dan bentuknya yang paling konkrit ialah hidup ber- pasang-pasangan sebagai pria dan wanita. Marapu diyakini memiliki sebuah rahasia dan sifatnya gaib serta mempengaruhi hidup manusia. Orang Sumba, dalam rangka menghormati arwah para leluhur mereka dapat dilakukan dengan cara menaruh patung atau arca pada batu kubur. Selanjutnya mereka mempersembahkan suatu barang atau benda. Dan wujud yang paling umum ialah ‘sirih-pinang’, mengur bankan hewan seperti ayam, babi atau kerbau. Arca arca pada umumnya terbuat dari kayu dan diukir dalam bentuk wajah manusia (antromorfis).

Batu Kubur Megalitik

Para ahli geologi berpendapat bahwa Sumba meru pakan salah satu kebudayaan megalitik yang masih hidup sampai kini. Batu-batu kubur megalitik ukuran besar merupakan sebuah pemandangan biasa yang dapat dilihat di kampung-kampung tradisional di selu ruh pulau Sumba. Dapat diduga bahwa kira-kira 4500 tahun yang lampau kebudayaan megalitik menjadi suatu fakta yang terus hidup sampai sekarang. Batu-batu kubur ini terbuat dari wadas yang keras. Salah satu je nis batu terkenal ialah Batu Tarimbang dari pantai Tarimbang, Sumba Timur. jenis batu ini biasanya lebih mahal karena mirip marmer atau pualam. Batu plat didirikan diatas 4 tiang batu dengan tinggi kurang lebih 1.5 meter; mirip sebuah altar dengan berat kurang lebih 40 – 70 ton. Untuk mendapatkan potongan batu besar ini, masyara kat Sumba mempunyai upacara ‘Tingi Watu’ (tarik batu). Sebelum upacara ini dilangsungkan, pertama-tama mesti mendapat izin dari Marapu; roh pemilik atau penjaga batu tersebut. Ada beberapa upacara yang di lakukan untuk mendapatkan ijin dari ‘pemilik batu’. Pertama, ‘Pogo Watu’, sebuah upacara ritual yang dia dakan di tempat pemotongan atau penggalian batu. Imam Marapu memimpin upacara dengan mempersem bahkan ayam, beras dan sirih pinang kepada roh pemi lik batu. Ia memohon supaya para arwah leluhur meres tui upacara penarikan batu dapat berlangsung dengan baik. Upacara kedua disebut ‘Tingi Watu’ (tarik batu). Ratusan bahkan kadang ribuan orang diperlukan untuk memindahkan batu besar ke tempat yang dikehendaki. Penarikan batu ini biasanya memakan waktu beberapa hari. Pada saat penarikan batu, Untuk menjaga sema ngat para penarik batu, seseorang berdiri di atas batu yang sedang ditarik dengan tujuan memberi semangat kepada para penarik lewat syair dan lagu-lagu adat. Upacara penarikan batu ini memerlukan banyak biaya berupa: uang, hewan berupa babi, kerbau, kuda dll. Bila harga sebuah batu diuangkan, cukup mahal berkisar di atas Rp. 65.000.000 atau sekitar € 5.000,00. Dan juga untuk membeli hewan yang diperlukan untuk upacara ini. juga makan dan minum serta lauk-pauk untuk jum lah besar orang yang ikut ambil bagian dalam upacara ini. Oleh karena itu upacara tarik batu hanya untuk orang orang tertentu atau mampu saja. Upacara terakhir ialah menata kuburan dengan memberi oranamen simbol simbol Marapu pada sekeliling atau pada bagian ter tentu batu kubur tergantung permintaan pemilik. Kebanyakan simbol dihubungkan dengan perjalanan setelah hidup di dunia ini menuju ‘Praing Marapu’ (surga).

Pemakaman

Para penganut aliran kepercayaan Marapu meyakini adanya hidup setelah kematian. Itu sebabnya pemaka man orang mati menjadi amat penting dan menjadi ritual adat yang amat mahal. Normalnya, jenazah dise mayamkan selama beberapa hari dan diadakan be berapa upacara sebelum dimakamkan. Akan tetapi, upacara pemakaman dapat ditunda sampai sepuluh tahun atau bahkan lebih. Dan selama itu jenazah tetap disemayamkan di dalam rumah keluarga duka. Hal ini terjadi khususnya untuk keluarga bangsawan. Mengapa lama? Upacara pemakaman mahal! Keluarga perlu mempersiapkan hal-hal yang diperlukan untuk upacara pemakaman tersebut seperti uang dalam jumlah besar, kerbau, sapi, babi dan kadang-kadang kuda untuk dikor bankan (disembelih). Banyak suku di Sumba; menguburkan orang mati dengan posisi seperti janin dalam rahim ibu. Posisi ini melambangkan kelahiran baru dalam rahim bumi yakni di dalam dunia roh. jenazah dibungkus dengan kain tenun ikat yang bagus dan mahal serta perhiasan-per hiasan lainnya. Persiapan-persiapan ini perlu dilakukan sedemikian rupa agar roh si arwah benar-benar siap masuk ke dalam ‘Praing Marapu’ (Surga). Di Praing Marapu itulah mereka (para arwah) memulai hidup baru dalam keabadian dengan pesta atau jamuan besar.

Rumah Adat

Rumah adat Sumba bukan sekedar rumah untuk tinggal (dihuni). Rumah tersebut dikerjakan dengan sentuhan seni, penuh dengan simbol-simbol yang merupakan warisan tradisi leluhur mereka yang kaya makna. Pada umumnya kita menyaksikan bahwa rumah-rumah adat tersebut dibangun di atas bukit; dikelilingi pagar batu yang rapih tersusun dan dilengkapi dengan dua pintu gerbang sebagai pintu masuk dan keluar. Dengan letak rumah seperti ini dimaksudkan untuk mengintai musuh lebih mudah. Atau dengan kata lain lebih pada pertimbangan security; melindungi kampung atau suku mereka dari serangan musuh. Empat tiang soko-guru terbuat dari kayu dengan ukuran besar dan kokoh menjadi penopang utama bangunan rumah adat Sumba. Empat pilar ini melambangkan 4 (empat) arah angin utama: Utara, Selatan, Timur dan Barat. Di tengah terletak perapian untuk memasak, yang juga melambangkan Matahari. Setiap tiang dilingkari dengan ring yang terbuat dari kayu atau batu yang menandai ‘lingga’ dan ‘yoni’ atau melambangkan organ kelamin laki dan perempuan. Ada banyak hal yang ter ungkap lewat seni tradisional rumah adat yang di hubungkan dengan aspek-aspek kesuburan atau sek sual (pria dan wanita). Rumah adat ini dirancang dengan menara tinggi yang melambangkan hubungan harmo nis antara manusia dengan roh para leluhur Marapu (Sang Khalik). Fungsi lain dari atap (menara) yang tinggi ialah untuk menyimpan bahan-bahan makanan atau benda-benda pusaka yang bernilai. Selain atap atau menara yang tinggi; rumah-rumah adat tersebut bi asanya dirancang dengan pelataran terbuka yang di dalamnya ada tempat keramat yang disebut ‘natara paddu’ (tempat suci). Pelataran ini menjadi tempat atraksi seni-budaya atau pesta adat/suku dilangsung kan. juga di sekeliling pelataran ini terdapat batu-batu kubur megalitik tempat disemayamkan jasad para le luhur.

Upacara pasola

Pasola adalah upacara ritual Marapu. Upacara ini dise lenggarakan hanya oleh orang Sumba bagian barat dengan tujuan merayakan musim tanam padi. Pasola merupakan bentuk ritual untuk menghormati Marapu: mohon pengampunan, kemakmuran dan hasil panen yang melimpah.Upacara ini biasanya diselenggarakan pada bulan Februari di daerah Lamboya dan Kodi; dan pada bulan Maret di daerah Gaura dan Wanukaka. Pe rayaan puncak mulai 6 (enam) sampai 8 (delapan) hari setelah bulan purnama. Sesudah perhitungan tersebut, orang berduyun-duyun ke arah pantai bagian selatan untuk memungut ‘cacing nyale’ (worms). Pada saat inilah upacara pasola dimulai. Saat Pasola berlangsung, para ‘prajurit’ melarikan kuda mereka sambil melemparkan lembing kayu kepada penunggang kuda lainnya. yang menjadi lawan tanding ialah dari suku lain. Mereka yang bertarung di arena pasola mesti mempunyai ketangkasan menunggang kuda dan tangkas pula melempar lembing. Menurut aliran kepercayaan Marapu, darah yang tertumpah akan menyuburkan tanah dan menghasilkan panen yang melimpah. Semakin banyak darah yang tumpah, maka panen akan lebih baik. Para penganut aliran kepercayaan ini yakin pula bahwa setiap tetes darah yang ditumpah kan (korban binatang atau peserta pasola terluka atau bahkan mati di arena Pasola) dianggap sebagai tanda kemakmuran untuk panen yang akan datang. Dan pada akhirnya darah yang tertumpah dan kekerasan Pasola, harmoni dengan alam ciptaan dapat dibangun dan di perbaharui lagi di dalam masyarakat Sumba. Dengan demikian mereka dapat hidup dalam keadaan damai sejahtera dan dalam kebersamaan sebagai orang Sumba.